Bukankah
sudah kukatakan sejak dulu kalau Kara itu tak boleh mengekang Farida? Beginilah
akibatnya. Keluarga itu urusan pokok, fundamental, nggak bisa di nomor dua-kan.
Kalau belum mampu mencukupi kebutuhan keluarga, seenggaknya jangan menghalangi
wanita untuk bekerja. Beruntung Farida banyak mengalah, mulai mengasah otaknya
bagaimana bisa bekerja sambil menunggui anak-anaknya yang masih kecil.
Rema
masih tertidur lelap. Anak itu sudah dua hari menginap dirumahku. Sejak kemaren
Farida belum memberi kabar kalau dia sudah kembali dari Semarang. Dia hanya
berpesan mau bertemu kakaknya di Semarang, cari pinjaman modal usaha. Beruntung
Rema yang berumur 3 tahun adalah teman Ifah dan mau menginap dirumahku. Tak
bisa kubayangkan Farida menggendong bayinya sambil membawa Rema pergi ke
Semarang.
Fandi, suamiku agak terlambat pulang malam
ini. Katanya seharian rapat dan belum sempat ke rumah ibunya. Mungkin Fandi
akan ke rumah ibu menjenguk kakaknya yang sedang sakit tifus. Adik iparku,
Finda, sepertinya juga akan pulang malam. Maklum, semester 5 sangat padat
dengan tugas kelompok. Memang sepertinya malam ini akan sedikit sepi.
Mbak Silvia, mungkin dua hari lagi
Rida baru pulang mbak.
Nitip Rema dulu ya mbak..
Maaf merepotkan.
SMS
itu dikirim Farida dua hari yang lalu. Ini sudah sore dan belum ada kabar lagi.
Kebiasaan Farida selalu mematikan telepon kalau sedang ada masalah. Ini
membuatku sulit mengetahui kabarnya. Sejak SMA aku mengenal Farida, dia memang
selalu menyimpan masalahnya rapat-rapat. Aku tahu kalau dia ada masalah ketika
raut wajahnya agak sedikit murung. Tapi aku tahu dia adalah orang yang kuat.
Seberat apapun, aku yakin dia bisa menghadapi.
Tadi
malam Rema menanyakan dimana mamanya. Aku bilang padanya kalau Mama sedang
mencari hadiah untuk ulang tahun Rema. Rema hanya diam menurut dan kemudian
tidur bersama Ifah. Hari ini mereka bermain di taman bersama Fandi. Aku harusnya
bisa sedikit santai kalau saja Finda tidak tiba-tiba membawa rombongan kawannya
kemari mendadak.
Finda
tau aku masih lelah karena dua minggu ini selalu lembur bahan editan. Dia mengambil
alih tugasku hari ini dan menyuruhku untuk istirahat saja. Aku keluar rumah
lewat pintu belakang. Biasanya aku mampir ke rumah Mariana untuk sekedar
melihat produk baru dagangan tasnya. Tiba-tiba Hpku berbunyi, Farida menelepon.
“Mbak Silvia, sekarang saya sudah di rumah mbak. Sebentar lagi saya ke
rumah mbak Silvia ya?”,
“Oke da.., saya tunggu ya..”
“Kau lama sekali
dan nggak ada kabar. Bagaimana di Semarang?”tanyaku menginterogasi Farida.
“Awalnya Rida hanya minta pinjaman modal mbak.., tapi malah Rida dicarikan pekerjaan sama Mas Afin. Kemarin sudah wawancara, minggu depan sudah masuk mbak..”, jawabnya.
“Kamu mau kerja apa da? Dimana?” tanyaku lagi.
“Awalnya Rida hanya minta pinjaman modal mbak.., tapi malah Rida dicarikan pekerjaan sama Mas Afin. Kemarin sudah wawancara, minggu depan sudah masuk mbak..”, jawabnya.
“Kamu mau kerja apa da? Dimana?” tanyaku lagi.
“Saya nggak tau
mbak dikasih kerja apa, yang penting saya kerja dulu lah.. Minggu depan
anak-anak saya bawa ke Semarang. Kalau disana ada ibu yang bisa jagain
anak-anak selama saya bekerja mbak,”
“bagaimana Kara?”
tanyaku lagi.
“biar mas Kara tetap disini dulu sambil bekerja, nanti kalau sudah agak mapan, Rida baru mau berhenti bekerja,” jawabnya mantab.
“biar mas Kara tetap disini dulu sambil bekerja, nanti kalau sudah agak mapan, Rida baru mau berhenti bekerja,” jawabnya mantab.
“Rida..rida..,
harusnya dari dulu kamu berani bilang gitu sama Kara”, sahutku sambil
tersenyum.